top of page

Hari Minggu Biasa XV

  • Gambar penulis: Héctor Javier Tornel
    Héctor Javier Tornel
  • 12 Jul
  • 3 menit membaca

Minggu, 13 Juli 2025.

Syklus C


Injil Lukas 10: 25-37.

Siapakah sesamaku manusia?


Saya percaya bahwa dalam setiap budaya, selalu ada kata-kata mutiara yang mewakili nilai-nilai, terlepas apakah masyarakat benar-benar menjalankan nilai-nilai tersebut atau tidak. Biasanya, dalam setiap keluarga terdapat struktur moral atau pedoman perilaku tertentu terhadap sesama, bahkan hal itu kita pelajari di sekolah.


Dalam masyarakat Yahudi pun ada struktur moral yang jelas, yaitu Hukum Taurat. Seorang ahli Taurat yang muncul dalam Injil hari ini mengetahui hukum Taurat dengan sangat baik, bahkan terlihat sedikit licik ketika ia bertanya kepada Yesus seolah-olah ingin mengejek atau menunjukkan bahwa Yesus tidak memiliki pemahaman yang benar dengan pertanyaan, "Guru, apa yang harus aku lakukan untuk memperoleh hidup yang kekal?"


ree

Namun, dengan kecerdikannya, Yesus justru membalik pertanyaan itu dan memintanya untuk menjawab sendiri: "Apa yang tertulis dalam Hukum Taurat?" karena memang dia adalah seorang ahli Taurat. Jawaban dari seorang ahli Taurat sudah sangat terkenal dalam doktrin: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu, dan dengan segenap akal budimu, serta kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Namun, Yesus bertanya: “Tapi, siapakah sesamaku manusia?” Sampai pada pertanyaan ini, diskusi berhenti menjadi diskusi doktrin, dan Yesus mengubah diskusi ini menjadi sebuah ajaran yang mendalam tentang bagaimana memperoleh kehidupan yang kekal.


Selanjutnya, cerita berikut dalam Injil sangat menarik. Mengetahui doktrin saja tidak pernah menjamin cara hidup yang benar. Oleh karena itu, Yesus menjelaskannya dengan contoh yang sangat kuat. Dalam perikop itu muncul tiga tokoh: seorang imam, seorang Lewi, dan seorang Samaria. Ketiganya melewati seorang pria yang sedang menderita, terluka, dan setengah mati.


Namun, baik imam maupun orang Lewi tidak peduli pada pria itu, meskipun mereka tahu hukum dan aturan yang benar. Sebaliknya, ketika seorang Samaria melihat orang itu, hatinya tergerak oleh belas kasih. Orang ini, yang tampaknya seorang kafir dan tidak mengenal hukum, justru menunjukkan belas kasih yang tulus. Yesus ingin menekankan perasaan yang dimiliki oleh orang tersebut. “Ia pun pergi kepadanya, membalut luka-lukanya, [...]. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri, lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya”. Menurut para Bapa Gereja, orang Samaria melambangkan Allah.


ree

Para Bapa Gereja, para guru iman pada abad-abad awal, mengartikan orang Samaria sebagai sosok yang mewakili Allah sendiri. Misalnya, Santo Agustinus mengajarkan bahwa Kristus adalah seperti orang Samaria yang mendekati manusia yang terluka oleh dosa untuk menyembuhkan dan membawanya menuju keselamatan. Sama seperti orang Samaria membalut luka pria itu dan menemaninya sampai ke penginapan, Allah mendekati kita dengan kasih sayang, menyembuhkan kita, dan memberikan harapan akan hidup yang kekal. Simbolisme ini mengajak kita untuk membuka hati bukan hanya kepada kasih manusia, tetapi juga kepada belas kasih ilahi yang mengubah hidup kita.


Yesus, melalui orang Samaria, sedang menggambarkan Allah sendiri dan tidak orang lain. Ia merawatnya, menyembuhkannya, membawanya ke tempat penginapan, dan memastikan masa depannya. Agama yang meninggalkan manusia dalam kematiannya bukanlah agama yang sejati (seperti yang dilakukan imam dan orang Lewi); agama yang sejati adalah agama yang memberi kehidupan, seperti yang dilakukan oleh Allah-Samaria. Karena itu, ketika Yesus menceritakan kisah atau perumpamaan ini, Ia ingin berbicara tentang Allah, tentang Allah-Nya. Jika demikian, maka konsekuensi yang bisa kita tarik sungguh luar biasa.


ree

Allah kita seperti orang Samaria “heretik” yang tidak peduli menjadi seseorang yang melanggar aturan kemurnian atau ibadah demi menunjukkan kasih kepada seseorang yang membutuhkan. Perumpamaan ini tidak hanya berbicara tentang solidaritas manusia, tetapi juga tentang praktik kasih Allah. Itu menunjukkan bahwa Tuhan hari ini mengundang kita untuk merasakan perasaan Tuhan, supaya kita bisa melampaui doktrin dan kemudian menemukan siapa sesamaku manusia.


Hanya ketika kita membuka hati untuk menerima Tuhan, membiarkannya masuk ke dalam hati kita, kita dapat membawa doktrin itu ke dalam praktik dan melakukan kehendak-Nya. Dalam hidup sehari-hari, apakah saya mampu mengidentifikasi siapa sesamaku manusia? Meskipun sesama kita mungkin tidak pernah membalas kebaikan kita, semoga kita tetap mampu mewakili Yesus dengan belas kasih yang hari ini dinyatakan kepada kita melalui pribadi orang Samaria.

 
 
 

1 Komentar


Anonim
12 Jul

Refleksi ini menggugah kesadaran terdalam: bahwa menjadi sesama bukan soal balasan, melainkan keberanian untuk mengasihi tanpa syarat. Dalam dunia yang sering menimbang untung-rugi, tulisan ini adalah napas segar dari dimensi kasih yang murni.

Suka
bottom of page